Review Buku Dunia Sukab ; Menyentil Lewat Sastra

Lagi-lagi tentang buku. 

Ya, bagi saya yang hobi membaca dan merangkai kata, pasti engga jauh-jauh dari membaca buku dan teman-temannya. Dan kali ini buku pilihan saya jatuh pada buku berjudul Dunia Sukab yang ditulis oleh penulis besar Indonesia, Seno Gumira Ajidarma. 

Buku ini berupa kumpulan cerpen yang sebagian telah dimuat di beberapa koran nasional. Setelah membacanya, saya jatuh cinta pada alur di beberapa cerpennya dan berusaha merangkumnya menjadi sebuah resensi yang beruntungnya saat itu berkenan dimuat oleh koran Radar Surabaya.





Berikut isi resensi yang saya buat untuk buku Dunia Sukab.


Judul Resensi : Menyentil Lewat Sastra

    Bagi pecinta kisah sastra, tentunya nama Sukab tidaklah asing lagi. Sukab itu sendiri, merupakan tokoh fiksi yang sering muncul dalam beberapa cerpen yang ditulis oleh salah satu pengarang besar Indonesia bernama Seno Gumira Ajidarma. Bahkan saat ini, nama Seno Gumira sendiri sering diasosiasikan dengan sosok Sukab.

    Kisah-kisah dalam kumcer ini bercerita tentang dinamika hidup serta fenomena sosial yang lekat pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Kumpulan cerpen ini terbit pertama kali pada tahun 2001 dan tahun ini diterbitkan ulang sebagai upaya untuk terus merawat karya sastra kanonik Indonesia, sebagaimana terabadikannya karya-karya sastrawan dunia lainnya. (hal.VI)

     Cerpen berjudul “Pengaduan Sukab” bercerita tentang Sukab bin Duryat yang menjadi korban salah tangkap. Di suatu ruangan, dirinya dihujani pukulan dan tendangan oleh beberapa orang berseragam dan dipaksa untuk mengaku sebagai orang lain yang bahkan tidak dikenalnya. Sebuah kenyataan miris yang masih sering terjadi pada masa kini. (hal 25-35)

    Beberapa cerpen di buku ini juga mengangkat permasalahan pada zaman Orde Baru. Cerpen “Manusia Api” menceritakan sisi mistis yang tersisa dari peristiwa saat kota diguncang oleh pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan tahun 1998. Saat itu banyak orang tewas terbakar ketika menjarah di pusat perbelanjaan. Mereka digiring untuk menjarah di sana, sengaja dikunci dari luar oleh pihak tak dikenal dan tewas terbakar. Setahun kemudian, sosok mereka muncul lagi menyerupai manusia dengan tubuh dipenuhi kobaran api. Suara rintihan mereka selalu terdengar saat malam datang dan kerap merisaukan warga. (hal 91-100)

    Cerpen lainnya berjudul “The Pinocchio Disease” menyoroti korupsi yang menjamur di negeri ini.Diawali dari hal kecil, hanya korupsi segobang demi segobang, lalu menjelma menjadi sebuah kebiasaan. Justru sebaliknya, jika seseorang tidak korupsi maka akan dianggap aneh (hal.123). Sebuah pemahaman yang menandakan matinya suara hati dan merupakan potret minus wajah negeri ini.

    Dengan total 17 cerpen di kumcer ini, penulis begitu mahir meramu ide menjadi sebuah kisah yang unik dengan akhir tak terduga. Dengan tebal 230 halaman, pantas rasanya jika buku ini dijadikan sebagai referensi bacaan sastra yang menarik dan inspiratif. 


Comments

Popular posts from this blog

QRIS Mudahkan Pembayaran Digital Ala Milenial

Mengenal Dr Tan Shot Yen ; Dokter yang Pelit Resep, Blak-Blakan dan Tegas